Mari kita berbicara, Fey. Selagi kamu masih di sini dan aku masih memiliki nyali di hari ini. Selagi lagu Catch the Windblows-nya
Endah dan Rhesa mengalun sebagai layar waktu kita ini. Biasanya kita
akan meresapinya dan bersenandung berdua, tapi kali ini tidak. Kamu diam
saja, biarkan kali ini aku yang berbicara, sekali lagi, selagi aku
masih memiliki nyali.
Kamu tahu, Fey? Bersamamu, aku suka
perasaan ini. Yang menggetarkan, yang penuh rasa rindu, yang benar-benar
aku ingin berada seperti ini sepanjang waktu.
Dengarkan aku, Fey. Aku mencintaimu.
Barangkali seperti bumi yang mencintai matahari sehingga rela
mengelilinginya sampai jutaan kali hingga hari ini. Dan seperti itu pula
aku. Rela mengunjungi tempat ini hampir setiap hari hanya untuk
merampok waktu, dan menghabiskannya bersamamu. Ah, tapi apa kamu pernah
tahu alasanku itu, Fey? Kalau begitu, sekarang kamu sudah tahu.
Kamu tahu, Fey? Aku mencintaimu sudah sejak
dulu. Entah sampai kapan kamu akan bisa tahu tentang itu. Aku sendiri
sampai sekarang tidak bisa memastikan apa kamu tahu atau tidak. Tapi,
Fey, harusnya kamu tahu ketika aku selalu memperhatikan detail
tentangmu. Apa yang kamu kenakan, kebiasaanmu, yang kamu lakukan, kata
dan kalimatmu. Semuanya, Fey, semuanya. Ah, pasti kamu tahu kan Fey? Pasti tahu. Karena aku sejelas itu mencintaimu.
Lalu ketika kamu bercerita tentang kamu berada di tempat gelap itu selama ini, demi Tuhan, aku ingin mengeluarkanmu dari sana. Cahayamu terlalu terang untuk berada di sana. Meski mungkin aku hanya akan bersenjata lentera dan pendaran cahayanya, semoga cukup.
Aku akan membawamu, mengajakmu, menggandeng
tanganmu ke tempat yang jauh lebih hangat dengan cukup terang cahaya.
Tidak menyilaukan atau menyakiti matamu ketika sampai di sana. Daripada di tempat yang gelap itu, meski kamu merasa senang di sana, tapi aku takut di sana
kamu akan mengalami sakit, lagi dan lagi. Aku menginginkan kamu selalu
tertawa, Fey. Cintaku sesederhana itu. Kumohon, jangan lagi ada rapuhmu
luruh hanya gara-gara kegelapan itu. Kemari, genggam tanganku kapan pun
kamu tergoda kegelapan itu.
Fey, aku ingin menjadi telinga, dan
seseorang yang selalu tenang, mengatakan padamu bahwa semua akan
baik-baik saja. Memberimu kehangatan mata sedalam aku bisa. Memberimu
senyum tulus, semanis aku bisa. Memberimu perasaan nyaman sedamai aku
bisa.
Sebentar, dengarkan dulu. Biar aku yang berbicara, Fey. Kamu diam saja dulu. Kali ini saja. Nyaliku sedang tinggi. Ya?
Di lain waktu, kamu ingat, kamu bercerita
lagi tentang berbagai hal. Apa pun itu, selalu menyenangkan mendengarmu
bercerita. Aku rela menjadi telinga dan mata itu sepanjang waktu.
Mendengar suaramu dan melihat rona pipimu yang malu-malu. Kemari,
ceritakan lagi tentangmu. Kemari, bagi lagi semua kekonyolanmu. Kemari,
temani aku di separuh rotasi bumi lagi hampir setiap hari. Biar kupilin
semuanya satu per satu. Biar aku menikmati kerianganmu satu demi satu.
Biar imajinasiku bermain di sana, seolah sambil kamu bercerita, aku menggenggam tanganmu.
Fey, aku suka semua pikiranmu. Yang menganggap cinta itu seperti udara. Bisa datang dan pergi kapan saja. “Bukankah yang membutuhkan tabung oksigen untuk membantunya bernafas malah berarti dia sedang tidak baik-baik saja?” katamu. Lucu. Tapi benar.
Kamu juga menganggap cinta itu seperti air.
Tidak bisa digenggam. Bahkan kamu menyuruh orang untuk pergi ke bak
mandi dan menggenggam air biar percaya. Supaya kamu bisa berkata, “Benar bukan? Tidak bisa digenggam. Mungkin akan memberi kesan basah saja. Setelah itu, jika ada angin atau matahari, pasti hilang kesan basahnya.”
Kamu, yang selalu bercerita bahwa kamu suka
menikmati langit malam ketika sedang cerah-cerahnya. Atau melihat
burung-burung yang beterbangan dan hinggap di mana saja. Yang suka duduk
berlama-lama di teras. Bahkan, kamu, yang secantik itu, Fey, suka duduk
berlama-lama di kloset. Di sana
kamu bisa bercerita panjang lebar, katamu. Tentang lelakimu, tentang
rahasia, tentang orang, tentang kehidupan. Kamu bilang, mau bercerita
sepanjang dan selebar apa pun, kloset itu setia. Mampu menjaga rahasia.
Aneh, tapi lucu. Ah, kamu ini, Fey. Selalu bisa membuatku tersenyum.
Kamu, yang pernah meminta pasangan kepada
Tuhan dengan sedemikian detailnya. Dari sifat, perawakan, sampai cara
dia tertawa. Apa di dalamnya juga ada aku, Fey? Maaf, bercanda.
Sebentar, Fey. Diam dulu. Tolong. Biar aku
selesaikan dulu apa isi hatiku padamu. Kumohon? Bisa jadi ini
satu-satunya kesempatanku. Ya?
Aku menginginkan gadis sepertimu, Fey, yang
selalu ingin menghadirkan bintang-bintang di kedua mata lelakimu,
membuatnya bercahaya lagi karena perasaan dibutuhkan dan didamba seorang
perempuan. Yang tak pernah ingin kehilangan senyum lelakimu, dan
menawarkan kehangatan sebuah pelukan. Yang selalu memberi perhatian
lewat sapaan dan perhatian. Meski itu sekadar pertanyaan, “Sudah makan?”
Kamu, Fey, yang tak pernah mau menjadi
perempuan kedua. Dan demi Tuhan, aku selalu mendoakanmu untuk tidak
pernah menjadi perempuan kedua atau yang pertama pada lelaki mana pun.
Aku mendoakanmu menjadi satu-satunya perempuan bagi laki-laki itu seumur
hidupnya. Tidak berlebihan kan, Fey, doaku?
Kamu, yang menyukai lelakimu yang
gentleman, yang membukakan pintu pada perempuan, entah muda entah tua,
yang memberikan tempat duduk di kereta atau bus kepada perempuan atau
yang jauh lebih tua. Aku juga seperti itu.Tapi apa aku pernah masuk
dalam pikiranmu? Sebentar saja? Tidak? Ya sudah, tidak mengapa, lupakan
saja. Aku hanya bercanda.
Kamu juga menyukai lelaki yang setia, Fey,
pada suatu hari kamu bilang. Yang betah berlama-lama denganmu. Ah, Fey,
kenapa kamu mengatakan itu. Lelaki mana pun pasti mau melakukannya
untukmu. Apalagi aku. Aku akan ikut jatuh bersamamu. Tapi tidak hanya
itu, aku akan membantumu berdiri kembali. Ayo, melangkah lagi. Lihat,
ada cahaya di sana. Pasti hangat. Pasti menyenangkan. Setelah itu aku akan seperti anak kecil yang hatinya berbunga-bunga melihat kamu tertawa.
Ini bukan lucu, Fey. Jangan tertawa. Aku serius mengatakannya. Dengar dulu. Biar aku lanjutkan, ya, Fey? Boleh?
Kamu tahu, aku ingin menjadi lelaki seperti
dalam ceritamu itu, Fey, yang bisa membuatmu mengunyah roti berisi
selai strawberry lebih pelan dari biasanya sebagai alasan kamu bisa
lebih lama berdua. Bercerita tentang apa saja. Keseharianmu, keseharian
lelaki itu, atau merancang masa depan berdua.
Aku ingin menjadi lelaki seperti dalam
ceritamu itu, Fey, dimana kamu ingin menikmati cerahnya senja
bersamanya, sambil meminum teh di udara terbuka. Kemudian kalian tertawa
sambil melihat langit dan bongkahan awan yang kadang bentuknya lucu.
Aku tetap ingin menjadi lelaki seperti
dalam ceritamu itu, Fey, yang kadang dengan sengaja, kamu bersembunyi
agar dia mencarimu. Atau kamu akan berpura-pura tidak mampu melakukan
sesuatu padahal kamu sangat mampu, hanya agar dia membantumu. Atau
menjadikannya sebagai tempat kamu berbagi senyum hanya untuk memberi
tahu bahwa kamu tidak pernah berada di mana-mana. Kamu tetap selalu di sana, bersamanya. Ah, Fey. Aku ingin di sana.
Aku masih ingin menjadi lelaki seperti
dalam ceritamu itu, Fey, yang kamu tidak peduli pergi bersamanya ke arah
mana, entah pakai ransel atau koper, entah menginap di hotel bintang lima atau losmen biasa. Yang penting, kamu bersama dia. Iya, bersama lelaki itu. Ah, beruntungnya dia.
Aku ingin menjadi lelaki itu, yang kamu
ingin mengatakan kepadanya, “Aku ada karena kamu ada. Hanya itu.”
Menyenangkan sekali sepertinya.
Aku ingin menjadi lelaki itu, yang kamu
bilang kepadanya, “Jangan ke mana-mana, tetap di sini. Di sini. Kamu
punya cerita, aku punya telinga.” Yang kamu menggombal kepadanya, “Sini,
letakkan telingamu di nadiku. Bahkan denyutnya pun menyebut namamu.”
Ah, Fey.
Bagusnya, kamu tidak pernah melambaikan
tangan atau berusaha menarik perhatian lelakimu hanya untuk membuat
lelakimu sadar, bahwa dia kamu tunggu. Atau itu buruknya? Sehingga
lelakimu itu tidak bisa menyadarinya? Bagaimana lelaki itu tahu, Fey?
Ah, tapi semoga lelaki itu tahu. Siapa pun dia.
Bagusnya lagi juga, kamu, tidak pernah
memanjat jendela lelakimu, tidak berlari menyongsong ketika melihat dia
berjalan di sekitarmu. Itu kiasan, Fey. Kamu yang sepintar itu pasti
tahu itu.
Sebentar. Iya, aku memang berpanjang lebar. Dengarkan sebentar, Fey. Sebentar lagi. Mumpung aku masih punya nyali.
Apa kamu tahu, seberapa mudahnya aku mencoba untuk selalu meletakkan sosokmu di sudut-sudut mataku, Fey? Mudah?
Iya, mudah. Karena aku bisa melakukan itu di mana saja, kapan saja.
Seperti otomatis, Fey. Seperti kamu mengikutiku ke mana saja. Kamu
pernah mengalaminya, Fey? Aku sedang mengalaminya.
Apa yang kamu suka, Fey? Aku akan menyukai
semuanya? Langit? Bahkan ketika cerah membiru, mendung ataupun hitam
malam? Iya, aku juga menyukainya. Atau laut? Untuk menghayati
keluasannya, kehidupan di dalamnya, sampai suara ombaknya yang merdu?
Iya, aku juga akan menyukainya. Hujan? Ah, tanpa kamu menyukainya, aku
juga akan menyukainya, Fey. Sama. Apa lagi? Apa lagi, Fey?
Sebentar, aku hanya tahu kamu suka film menegangkan. Benar? Teka-teki. Benar juga? Karena aku sering kamu kalahkan. Komik Kariage Kun juga, kamu pernah bercerita suka. Benar? Apalagi? Beri pertanyaan kepadaku tentangmu, Fey. Apa saja. Aku yakin bisa menjawabnya.
Kamu tahu, diam-diam, aku mencuri beberapa
sajakmu dan memasangnya di sajakku. Bukan bermaksud mencuri, Fey. Hanya
untuk kamu tahu, bahwa sajak-sajak itu ditujukan kepadamu. Kamu pernah
membacanya? Sepertinya tidak. Karena kamu tidak pernah berbicara apa pun
mengenai sajakku. Apa pun. Tidak mengapa. Lupakan saja.
Fey, kapan pun mata kita setatap, tahukah kamu seberapa besar aku ingin melompat dan mendekapmu erat?
Fey, aku mencintaimu. Maukah kamu menjadi kekasihku? Istriku?
*****
Aku masih menatapmu dengan mata yang kamu
atau siapa pun bahkan tak akan bisa menggambarkan kehangatan yang luar
biasa di dalamnya. Tetap tidak bisa berkata apa-apa. Dan semua
pembicaraanku itu bayanganku saja. Angan-angan. Aku tidak pernah bisa
sepatah katapun dari semuanya, kuucapkan. Bisu, Fey. Bisu seperti biasa.
Lalu seseorang datang. Tampan. Sepertinya juga baik.
Aku melihatmu, seperti berkata, "Dia lelakimu?"
Kamu mengangguk meski tak mendengar suara.
Bisa kamu berhenti bersamanya, dan bersamaku saja? Ah, bercanda, Fey. Jangan menganggapnya serius.
Sampai sekarang, aku tak tahu apa arti
senyum kecil dan tatapan asingmu ketika berdiri dari bangku, dan
mengucapkan selamat tinggal padaku. Baiklah, Fey. Iya, aku tahu. Mungkin.
Aku membacanya sebagai benar-benar selamat tinggal. Kamu tidak akan
mengajakku berbincang lagi bukan? Ah, Fey. Aku akan benar-benar
merindukan setiap momen ini dalam hidupku. Sampai ketika aku nanti
menemukan perempuanku.
Kelak, kita akan punya segalanya, Fey,
kecuali waktu. Karena bertemu adalah sesuatu yang mustahil di masa depan
nanti. Aku tahu itu.
Sekali lagi, mencintai diam-diam itu
melelahkan. Sangat melelahkan, Fey. Tapi, kadang, tidak ada yang bisa
dilakukan selain itu. Satu-satunya cara, seperti yang bisa aku katakan,
aku masih akan memastikan kamu baik-baik saja. Semampuku, sejangkauanku.
Sudah ya, Fey. Aku juga pergi dulu.
namarapucinno - FEY